My Hit and My Misses – Analisa saya di tahun 2008 yang betul dan yang salah
Oleh Triharyo Soesilo
Salah satu hobi baru saya akhir-akhir ini adalah mengasah daya analisa kondisi makro ekonomi, dengan hanya menggunakan data-data yang tersebar di internet. Ternyata hobi gratis ini selain meng-asyik-kan, juga tampaknya bisa memacu otak supaya tidak cepat “Lemot” (Lemah otak). Dengan semakin sering menganalisa, ternyata saya juga bisa mulai melihat dunia dalam kaca mata persepsi yang jauh berbeda dari sebelumnya. Sebuah perkembangan yang sangat menarik, khususnya bagi diri saya pribadi.
Selama tahun 2008, saya memberanikan diri untuk mulai melakukan analisa-analisa makro ekonomi dan menuliskannya secara terbuka di http://www.triharyo.com. Terus terang saya mengambil resiko profesi dengan memublikasikan analisa-analisa tersebut secara terbuka. Terutama tentunya bila analisa saya salah. Namun dengan memublikasikanya secara terbuka, saya justru harus lebih ekstra hati-hati untuk tidak membuat kesalahan. Namun di sisi lain, saya juga bisa memperoleh feedback terhadap ketepatan analisa saya, setelah waktu berlalu.
Berikut beberapa analisa makro ekonomi saya di tahun 2008 yang “salah” dan “betul” (untuk sementara waktu):
- Pada bulan Februari 2008, saya berpendapat bahwa ekonomi Asia “decoupled” dengan ekonomi Amerika, artinya krisis di Amerika tidak akan berdampak pada Indonesia. Ternyata analisa ini salah total (baca tulisan saya sebelumnya, “Analisa saya yang berbeda dengan perkiraan Ibu Sri Mulyani”). Jadi selamat tinggal dengan “Teori decoupling”. Ternyata analisa Ibu Sri Mulyani lebih tepat dan saya salah.
- Pada bulan Juni 2008, di saat harga minyak bumi mulai membubung ke arah US$140/barrel, saya menganalisa bahwa kenaikan harga tersebut akibat dari para spekulan, bukan akibat dari ekonomi pasar “supply and demand” (baca tulisan saya). Analisa saya tersebut agak berbeda dengan analisa CEO BP Tony Hayward (lihat foto) yang diforward rekan Holland Simandjuntak (salah satu BP executive di Vietnam). Tulisan Tony Hayward saya cantumkan sebagai feedback terhadap tulisan saya di http://www.triharyo.com. Dalam tulisan saya tersebut, saya menyimpulkan bahwa spekulasi tersebut terjadi karena murahnya “uang”. Hanya dengan menerapkan “tight money policy”, maka “bubble” harga minyak akan pecah. Ternyata analisa saya tampaknya tepat dan kejadiannya persis seperti yang saya tuliskan. Bayangkan bahwa analisa ini dilakukan 6 bulan sebelum “bubble” harga minyak bumi pecah.
- Pada bulan Oktober 2008, di saat Rupiah mulai menembus Rp 10.000, saya langsung menyampaikan kekhawatiran bahwa problem yang dihadapi Indonesia lebih mendasar (baca tulisan saya sebelumnya). Maksud saya bahwa Rupiah akan terus melemah untuk waktu yang lama karena penyebabnya adalah beban impor produk dan jasa yang sangat tinggi. Saya bahkan berani menuliskan bahwa keadaannya mirip seperti saat krisis moneter. Rasanya analisa ini juga tepat karena sampai hari ini mata uang Rupiah tidak pernah menguat dan secara de-fakto mengalami devaluasi sekitar 30% sejak tahun lalu secara konsisten.
Demikian selintas tentang hobi baru saya. Dalam kesempatan ini, saya mengajak para alumni ITB untuk mulai mengembangkan hobi yang relatif gratis ini (bila belum memulainya). Setelah saya renung-renungkan, para insinyur yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan “why”, akan jauh lebih baik dari insinyur-insinyur yang hanya bisa menjawab pertanyaan “how”. Baca tulisan saya tentang beda ekonom dan insinyur.