22 September 2007

Filosofi Pendidikan

Oleh Donaldy Sianipar

Apa bedanya siswa dan mahasiswa? Siswa diajar oleh guru sedangkan mahasiswa diajar oleh dosen.

Apa bedanya guru dan dosen? Guru lulusan IKIP sedangkan dosen bukan lulusan IKIP (kecuali dosen IKIP tentunya).

Apa bedanya IKIP dan yang bukan IKIP? IKIP menekankan pendidikan (secara keseluruhan) sedangkan yang bukan IKIP menekankan pengajaran (saja).

Apa bedanya pendidikan dan pengajaran? Pendidikan mencakup pengajaran dan pembinaan peserta didik (dan lain-lain lagi).

Seorang pengajar (dosen), hanya bertanggung jawab untuk mentransfer ilmu, keterampilan, dan lain-lain kepada murid-muridnya (mahasiswa). Sedangkan seorang pendidik (guru) juga bertanggung jawab untuk membina dan memotivasi murid-muridnya (siswa) agar menjadi rajin belajar, dan lain-lain.

Kalau seorang pengajar (dosen) juga ikut membina dan memotivasi murid-muridnya (mahasiswa) maka dia sudah melakukan "beyond the call of duty", "doing more than expected" (which is really very good, nothing wrong with it, and I have nothing against it. In fact, I fully support it and have even been doing exactly that myself for almost 20 years as a "dosen", you know).

Sehingga dalam kurikulum IKIP banyak kuliah-kuliah pedagogi (metodologi / cara mengajar yang baik dsb), psikologi (cara memotivasi dsb), dan lain-lain yang tidak diajarkan di ITB atau perguruan tinggi lain yang bukan IKIP.

Dengan demikian tanggung jawab utama seorang dosen adalah menyampaikan "subject matter" yang harus betul-betul dikuasainya (dosen harus betul-betul pintar dalam cabang ilmu yang diajarnya, sedangkan guru tidak harus demikian, asalkan pintar dalam metode mengajar, membina, dan memotivasi kerajinan siswa-siswanya).

Kalau ada mahasiswa yang malas (walaupun sebenarnya cukup pintar), maka konsekuensi tidak lulus adalah sepenuhnya tanggung jawab si mahasiswa itu sendiri, bukan tanggung jawab dosen untuk membuat mahasiswa itu menjadi murid yang rajin dan termotivasi untuk belajar.

Sedangkan kalau ada siswa yang malas, maka konsekuensi tidak lulus adalah juga tanggung jawab guru selain siswa itu sendiri, karena tetaplah guru bertanggung jawab juga untuk membuat siswa itu menjadi murid yang rajin dan termotivasi untuk belajar.

Siswa dianggap masih anak-anak, sedangkan mahasiswa dianggap sudah dewasa dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

Makanya perlu ada perpeloncoan (pembinaan mental) sebagai crash program dan shock therapy untuk membuat calon-calon mahasiswa yang belum dewasa menjadi cukup dewasa dalam waktu relatif cepat (dan sesungguhnyalah perpeloncoan tidak diperlukan di tingkat SMA / SMP kecuali untuk lucu-lucuan saja).

That is, ladies and gentlemen, the very fundamental essence of the philosophy of education.

19 Agustus 2007

Berhenti Merokok

Oleh Maridsyah Haroen

Saya punya pengalaman dan tips bagaimana cara berhenti merokok.

Saya termasuk perokok berat, dan sudah mengenal rokok sejak SMP. Sejak tahun 1997 sudah berusaha beberapa kali untuk berhenti merokok, tetapi tidak pernah berhasil. Paling lama bertahan cuma 2 bulan. Akhirnya pada bulan Mei 1999 saya berhasil menghentikan kebiasaan buruk tersebut.

Kuncinya adalah:

  1. Kalau sudah berhenti, jangan pernah mencobanya lagi walaupun satu isapan.

  2. Tanamkan di dalam hati yang paling dalam bahwa merokok tidak ada manfaatnya sama sekali dan ini adalah perbuatan sia-sia, yang lebih banyak mudaratnya, sedangkan manfaatnya tidak ada sama sekali.

  3. Usaha untuk berhenti merokok adalah murni berperang untuk mengalahkan hawa nafsu sendiri. Prinsipnya kalau tidak bisa mengalahkan diri sendiri, maka jangan pernah bermimpi untuk mengalahkan orang lain.

  4. Intinya adalah kembalikan kepada niat dan keinginan diri masing-masing.

Saya yakin bahwa setiap perokok pasti punya keinginan untuk berhenti, tapi tidak mampu untuk mewujudkannya. Mudah-madahan tips di atas dapat membantu teman-teman yang benar-benar mau berhenti merokok.

Selamat mencoba.

10 Agustus 2007

ITB Kejangkitan Penyakit Krisis Kepercayaan?

Oleh ITB77

Ipung Purwomarwanto:

Mungkin ada yang bisa bantu menjelaskan, kenapa ITB masuk ke wilayah private?

Ceritanya begini, anak saya diterima di ITB (alhamdulillah). Dengan sukacita mulailah dia mendaftar (kemarin ambil formulir isian). Eh, sore-sore telepon, minta difaks bukti pembayaran: rekening listrik, rekening PDAM, rekening telepon, bukti bayar PBB. Opo tumon???

Apakah ITB sudah "kejangkitan" penyakit "krisis kepercayaan" sehingga yang menjadi private domain (wilayah pribadi) pun diubek-ubek untuk sekadar mengetahui kondisi ekonomi orangtua mahasiswa?

Tolong yang bertanggung jawab di ITB bisa menjelaskan! Sedih deh...

-----

Arief Mustafa:

Saya juga pernah mengalami hal yang sama ketika anak saya masuk ITB tahun 2004, tapi saya menyadari bahwa hal itu nantinya diperlukan sebagai referensi ketika suatu saat anak kita memerlukan beasiswa, atau pemilihan besarnya sumbangan (karena besarnya sumbangan bisa kita pilih mulai dari Rp 0, Rp 250.000, atau kelipatan Rp 500.000) saat baru masuk, demikian juga tiap semesternya.

Angka-angka tersebut mungkin tidak tepat, hanya sebagai gambaran saja. Tidak sepantasnyalah jika pemakaian listrik mencapai Rp 250.000, telepon Rp 750.000, anak di koskan di Dago dengan biaya tidak kurang dari Rp 500.000 per bulan, tapi kesediaan memberikan sumbangannya memilih Rp 0, sementara di sisi lain kita menyadari bahwa biaya pendidikan itu tidak murah.

Sebaliknya, jika ada mahasiswa dari pedesaan dengan kondisi yang tidak mungkin memberi sumbangan, tidak mustahil biaya spp dan biaya hidupnya pun bisa dibantu. Apalagi ada Yayasan Bhakti Ganesha!

Saya kira bukannya ada pergeseran nilai sejak 1977 atau ada krisis kepercayaan. Masalahnya tetap sama, masih ada orang yang suka curang!

Pada masa kita kuliah dulu, ada (saya katakan ada tapi tidak semua) yang mencari beasiswa untuk tambahan jajan (nraktir teman Unpad / Unisba / ABA, dan sebagainya).

Di masa kini juga ada yang menyumbang Rp. 250.000 per semester (kurang dari Rp. 50.000 per bulan) tapi biaya pulsa hp-nya tidak kurang dari Rp. 100.000 per bulan. Belum lagi biaya kos, makan, jajan, bahkan parkir dan bensinnya pun cukup besar pula.

Mohon maaf, kalau saya menyampaikan dari sudut pandang lain, sekalipun saya bukan yang bertanggung jawab di ITB.

09 Agustus 2007

Anggaran Pendidikan Anak

Oleh Donaldy Sianipar

Saya ingin sedikit berbagi pengalaman setelah membaca berita di milis itb77 bahwa putri salah seorang teman kita berhasil diterima di fakultas kedokteran.

Dulu bapak saya ingin agar salah seorang dari keempat anaknya ada yang jadi dokter. Ternyata, satu pun ngga ada yang mau (atau ngga bisa kali? [G]).

Harapannya kemudian adalah salah satu mantunyalah yang dokter. Ternyata hasilnya nihil juga. Sekarang, cucu-cucunya satu per satu sudah mulai masuk kuliah. Sejauh ini belum ada satu pun yang masuk kedokteran.

Lebih sedih lagi, empat anak saya yang sudah masuk kuliah semua, ngga ada yang mau masuk ITB. "Ntar miskin seperti Papa," katanya…

Wah, gawat ngga tuh? Mungkin karena mereka membandingkan dengan orangtua teman-teman mereka di Sekolah Pelita Harapan, ya? SPH ini kan isinya anak-anak konglomerat dan menteri/gubernur.

Anak kedua yang lulusan Auckland International College sebenarnya agak mau juga masuk ITB. Tapi ibunya yang nanya, "Udah SMA di luar negeri, ngapain balik lagi kuliah di dalam negeri?" Wah, repot deh jadi anggota ISTI (Ikatan Suami Takut Istri). [G]

Bagusnya, dia dapat beasiswa di Amerika. Jadi, konsisten dengan parental guideline (pedoman orangtua) yang sudah saya bikin sendiri, sehingga kami support (dukung) saja. Memang sejak mereka semua masih SD, saya sudah bilang bahwa mereka boleh cari sekolah di mana saja asal dapat beasiswa.

Tapi soal support (dukungan) ini ternyata sangat berat juga. Soalnya beasiswa 100% pun sering kali tidak termasuk uang asrama dan makan.

Yang SMP di Singapura sih sudah termasuk asrama dan makan, bahkan tiket pp juga. Tapi yang SMA di New Zealand, waduh, uang asramanya minta ampun. Ini jadi kebalikannya TKI. TKI itu kan earn $ spend Rp, sehingga pada bisa punya rumah mewah di kampung.

Nah kita, earn Rp spend $, bayangkan saja pontang-pantingnya seperti apa. Dari total income of both spouses (penghasilan suami istri), bisa 75 % untuk biaya pendidikan anak-anak selama hampir 10 tahun terakhir ini.

Padahal saya baca di Kompas 13 Juli 2007 halaman 14, kebanyakan orang Indonesia cuma menganggarkan 4,27% untuk pendidikan anak. Perhitungannya seperti ini: 30% untuk cicilan rumah (yang sudah lunas, ingin ganti rumah), 30% lagi untuk cicilan mobil (yang sudah lunas, ingin ganti mobil). Sisa 40% buat makan dan biaya lain-lain. Berapa buat pendidikan anak?

Waktu anak pertama saya dapat beasiswa 100% di SPH okelah, cuma antar jemputnya saja dari Bintaro ke Karawaci yang Rp 5 juta setahun (cuma boleh pakai antar jemput yang dikoordinir sekolah).

Anak kedua juga dapat beasiswa 100% di AIC/NZ, tapi uang asrama bayar sendiri.

Anak ketiga dan keempat dapat beasiswa cuma 50% di SPH (agak malas belajar sih, ngga seperti kakaknya). Ya MBA-lah (Makin Berat Aja).

Apalagi sekarang, semua sudah pada kuliah: di Singapura, Amerika, China, dan Korea. Anggaran pendidikan pun sudah hampir mencapai 90%.

Amandemen UUD45 yang mewajibkan 20% APBN untuk pendidikan saja tidak bisa terlaksana. Pantas tetap kalah bersaing dengan negara-negara lain.

Saya pikir, itulah salah satu balancing act (tindakan penyeimbangan) yang perlu kita terapkan. Kalau anggaran pendidikan sudah 20% dari APBN, maka normalnya anggaran tiap keluarga juga 20% untuk pendidikan anak-anak.

Tapi karena anggaran pendidikan masih di bawah 10% APBN, maka "terpaksa" anggaran tiap keluarga harus di atas 40% untuk pendidikan anak-anak.

[You may disagree, just speak up your mind here.]

27 Juli 2007

Kepribadian Mempengaruhi Reaksi Orang terhadap Suatu Masalah

Oleh Goenarso Gunoprawiro

Tulisan di blog Opini ITB77 yang berjudul Pola Pikir Menentukan Cara Pandang Seseorang menarik perhatian saya.

Saya setuju dengan isi tulisan tersebut. Namun, menurut saya, yang berbeda dari tiap-tiap orang sebenarnya bukan sudut pandang, tetapi reaksi orang terhadap suatu masalah. Sudut pandangnya sama, tetapi reaksinya yang berbeda, karena ada tiga dimensi yang menyebabkan perbedaan reaksi.

Dimensi pertama menurut sebuah buku karya Florence Littauer yang berjudul Personality Plus adalah kepribadian (personality).

Dimensi kedua adalah sejarah masa lalu. Itu dijelaskan dengan baik oleh Dr. John Gray dalam bukunya yang berjudul Men Are from Mars, Women Are from Venus.

Dimensi ketiga adalah susunan sel otak. Ini dijelaskan secara terperinci disertai contoh-contoh dalam buku berjudul Why Men Don't Listen and Women Can't Read Maps? karya Allan & Barbara Pease.

Saya sudah membaca ketiga buku tersebut. Semuanya mengonfirmasi kebenaran tulisan di blog Opini ITB77 tersebut di atas. Namun, menurut saya, lebih tepat tulisan itu diberi judul Kepribadian (Personality) Mempengaruhi Reaksi Orang terhadap Suatu Masalah.

Mengapa? Karena, setahu saya, pola pikir itu sebenarnya tidak ada. Kalaupun ada, maka dengan adanya 200 juta lebih pola pikir, kita tidak berhak menyebutnya sebagai pola. Coba saja cari di kamus apakah ada yang namanya think pattern? Yang ada, berdasarkan salah satu buku di atas, adalah kepribadian (personality).

21 Juli 2007

Pola Pikir Menentukan Cara Pandang Seseorang

Oleh Donaldy Sianipar

Saya suka menganalisis berbagai hal yang mungkin jarang terpikirkan oleh orang lain. Misalnya, saya sering merenungkan mengapa beberapa hal yang lucu bagi saya ternyata tidak lucu bagi istri saya, dan sebaliknya beberapa hal yang lucu bagi istri saya ternyata tidak lucu bagi saya.

Mengapa beberapa hal yang menarik bagi saya ternyata tidak menarik bagi istri saya, dan sebaliknya beberapa hal yang menarik bagi istri saya ternyata tidak menarik bagi saya.

Atau mengapa beberapa hal yang penting bagi saya ternyata tidak penting bagi istri saya, dan sebaliknya beberapa hal yang penting bagi istri saya ternyata tidak penting bagi saya.

Akhirnya saya berkesimpulan bahwa tiap orang mempunyai pola pikir yang unik dalam mengenali hal-hal yang lucu, yang menarik, dan yang penting.

Rupanya kombinasi ketiga unsur itulah yang ikut membentuk kepribadian seseorang, yang ternyata agak semi-acak dan tidak selalu ditentukan oleh genetik, lingkungan, pendidikan, maupun pengalaman.

Buktinya banyak anak kembar yang dibesarkan dalam lingkungan yang sama, dengan pendidikan dan pengalaman yang boleh dikatakan hampir sama, ternyata bisa punya kombinasi pola pikir yang agak berbeda.

Kecocokan kombinasi ketiga unsur itu ikut menentukan apakah dua orang bisa menjadi sahabat yang akrab atau tidak.

Anehnya, kalau dua orang berbeda jenis kelamin mempunyai pola pikir yang terlalu mirip, justru jarang jatuh cinta satu sama lain, karena yang "terlalu mirip" itu malah terasa membosankan.

Harus ada unsur-unsur mistery and surprise yang membuat mereka dapat "saling mengisi", baru bisa menjadi pasangan suami istri yang "lengkap", walaupun risikonya akan sering terjadi konflik tentang hal-hal yang lucu, yang menarik, dan yang penting.

Makanya orang bilang bahwa konflik adalah bumbu yang sangat penting dalam tiap pernikahan, karena mereka jadi belajar mengatasi konflik, bagaimana menyelesaikan masalah akibat adanya perbedaan-perbedaan itu.

15 Juli 2007

Ukuran Keberhasilan Sebuah Angkatan

Oleh Donaldy Sianipar

Reuni akbar 30 Tahun ITB77 yang akan diadakan di Kampus ITB pada tanggal 25 Agustus mendatang diharapkan tidak dijadikan ajang pameran BMW dan Mercedes oleh teman-teman sudah sangat berhasil. Karena hal itu akan membuat banyak teman lain malas untuk datang.

Memang kita harus bangga atas keberhasilan teman-teman ITB77, diantaranya yang sudah masuk dalam "Buku 30 Tahun ITB77". Tapi jangan lupa bahwa daftar itu belum sampai 100 orang dari 1200 teman seangkatan kita. Padahal menurut kurva normal dalam statistik, kita mesti cut off 10% terbaik dan 10% ‘terburuk’.

Mengapa? Karena 120 orang terbaik dari antara kita memang memiliki karakteristik kepribadian yang akan membawa mereka pada keberhasilan, tanpa tergantung apakah mereka kuliah di ITB atau di perguruan tinggi lain, atau tidak menyelesaikan kuliahnya di ITB, atau seandainya tidak pernah kuliah sekalipun.

Sebaliknya, pada ujung spektrum yang lain ada 120 orang yang kuliah di mana pun, entah ITB atau Harvard atau apa saja, tingkat keberhasilannya akan mentok disitu-situ saja, karena memang karakteristik kepribadiannya begitu.

Jadi, kalau mau mengukur keberhasilan angkatan 77, indikatornya bukanlah the top 10% (apalagi the bottom 10%), tapi the middle 80%.

Maka, kalau mau dianggap ITB77 berhasil, marilah kita semua saling membantu agar keberhasilan kita merata ke semua anggota (terutama our most 'unfortunate' friends).

Baru setelah itu kita bisa membandingkan antara our middle 80% dengan angkatan-angkatan lain di ITB.

Intinya, mengukur keberhasilan angkatan 77 tidaklah dilakukan dengan membandingkan direktur utama perusahaan tertentu dari angkatan kita dengan direktur utama perusahaan lain dari angkatan yang lain, tapi dari apa yang terjadi dengan 80% sisanya yang berada di tengah dari setiap angkatan.

12 Juli 2007

Perbankan untuk Orang Kecil

Oleh Delima Kiswanti

Menanggapi pemikiran seorang teman (ti-itb77) yang sangat ingin membantu banyak orang dengan bersama-sama mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), terus terang saya agak gamang untuk membantu orang membuka microfinance institution (MFI). Apalagi membuka sebuah MFI milik sendiri dengan tujuan "membantu orang miskin".

Lain halnya kalau kita memang mau membuka usaha dengan menjalankan sebuah bank, semangatnya lain dan potensi di bidang ini memang ada. Di TI 77 expertnya buanyaak banget. Sambil punya bank bisa membantu beberapa klien pengusaha kecil mengembangkan potensinya.

Kalau semangatnya mau mengembangkan pengusaha mikro, berdasarkan pengalaman sendiri, saya menarik kesimpulan bahwa penyediaan layanan kredit bukan prioritas utama.

Saya sudah melihat terlalu banyak penerima kredit dari MFI yang jadinya bukan semakin makmur, malah usaha gagal sambil terlilit macam-macam utang. Menolong orang "miskin" dengan memberi kredit seringkali dimulai dengan asumsi yang menurut saya cenderung menyesatkan: bahwa mereka kekurangan dana dan tidak terpenuhi haknya untuk memperoleh kredit murah. Percaya atau tidak, dalam banyak hal pendekatan ini malah membuat mereka tambah miskin.

Kita semua sepakat bahwa pengusaha kecil tidak dapat berkembang karena kekurangan modal. Persoalannya, apakah cara mengatasinya adalah dengan memberi kredit? Pengamatan saya menunjukkan bahwa usaha kecil yang baik justru jarang membutuhkan suntikan dana dari luar. Sebelum mereka butuh pun, tawaran dari berbagai bank, BPR, koperasi dan perorangan datang bertubi-tubi.

Usaha yang sudah sehat, dengan sendirinya akan terhindar dari masalah likuiditas, karena ketika usaha itu membutuhkan kredit, akan banyak lembaga formal maupun tidak yang akan dengan senang hati memberi pinjaman. Sebaliknya, usaha yang tidak mampu memperoleh kredit sering kali mempunyai kelemahan yang tidak akan sembuh, walaupun ada dermawan yang bersedia memberi pinjaman.

Beberapa kelemahan yang sering terjadi antara lain: ketidakmampuan mengelola dana, tercampurnya uang usaha dan uang kebutuhan rumah tangga, side streaming, investasi pada aset yang tidak produktif atau tidak ada hubungannya dengan pengembangan usaha, ketidakmampuan bersaing atau memasarkan produk sehingga investasi nyangkut di inventory, ketidakmampuan mengelola piutang, menumpuknya piutang tak tertagih, ketidakmampuan menghitung biaya produksi sehingga keuntungan usaha terlalu tipis, ketidakmampuan mengukur kecepatan ekspansi yang layak, ingin berkembang terlalu cepat.

Intinya, menurut pendapat saya, kalau mau membantu secara berkesinambungan, kita perlu membantu pengusaha mikro mengatasi ketidakmampuan mereka dalam hal manajemen, yang menjadi penyebab utama terjadinya kesulitan likuiditas.

Tanpa meningkatkan kemampuan mengelola usaha, kredit yang dikucurkan tidak akan memperbaiki keadaan, malah akan memperbesar skala persoalan yang ada. (Dibutuhkan ahli marketing strategy untuk membuat kegiatan ini layak jual. Saya melihat potensinya ada. Pengusaha mikro mau membayar untuk jasa ini, tapi saya belum pernah secara serius memikirkan kemasannya.)

Kalau usaha sudah sehat, biarlah lembaga keuangan yang sudah ada dimana-mana memberi pinjaman kepada mereka. Toh dengan persaingan yang ketat di lingkungan perbankan (termasuk BPR & koperasi), kreditur tidak bisa mengenakan suku bunga secara sewenang-wenang.

Sekalian saya menjawab satu pertanyaan dari seorang rekan kita yang belum selesai kita bahas waktu di Semarang: kenapa bank tidak mau memberi pinjaman kepada usaha baru? Ide ini seringkali merupakan pencetus didirikannya MFI oleh berbagai NGO (lembaga swadaya masyarakat) di seluruh dunia.

Tahu kan bahwa 9 dari 10 usaha baru akan gagal? Atau mulai dengan gagal dulu. Yang berhasil adalah yang pemiliknya selalu bangun lagi setelah jatuh, sehingga orang luar mungkin tidak tahu bahwa dia sempat babak belur, jatuh bangun sepuluh kali sebelum bisa berdiri. Artinya, risiko menempatkan dana pada usaha yang baru akan dimulai itu sangat tinggi. Investor yang mau menempatkan dana pada risiko yang tinggi ini menuntut return yang sangat tinggi juga. Itu pun, pemilik dana perlu punya waktu dan kemampuan untuk terus menerus membangunkan si pengusaha baru setiap kali dia jatuh. Kalau tidak, usahanya akan gagal betulan dan uangnya tidak kembali.

Bank tidak mungkin melakukan hal ini. Makanya kemudian muncul venture capitalist, yang secara sadar mengambil peran dan risiko ini.

Dulu saya berharap sarana Jabar Ventura dan ventura-ventura lainnya akan dapat mengambil peran ini. Eh, ternyata mereka menjadi kreditur seperti bank biasa, dengan sedikit pendampingan teknis (ini yang saya tahu dari pengamatan di lapangan).

Lalu untuk calon pengusaha Indonesia yang tidak punya uang, bagaimana mereka bisa punya usaha? Kenapa tidak ada lembaga dana yang mau membantu mereka? Bank tidak mau, venture capital tidak ada. Ya, untuk Indonesia memang harus pakai dana sendiri. Kedengarannya memang tidak berperikemanusiaan. Tapi coba diamati lebih lanjut, si calon pengusaha yang tak punya modal dan pingin pinjaman bank, apa betul tidak punya aset sama sekali yang bisa dikorbankan sementara untuk mulai usaha?

Kalau tidak punya sama sekali, artinya dia belum punya pengalaman mengelola aset sejumlah yang dia inginkan. Artinya kemampuannya untuk menjalankan usaha perlu diragukan. Kalau punya, ya dilikuidasi dulu aja. Kalau si calon pengusaha sendiri tidak berani mempertaruhkan asetnya untuk memulai usaha, apakah layak dia menuntut bank atau investor lain menempatkan dananya pada usaha baru yang belum ketahuan masa depannya itu?

Kalau asetnya ada tapi belum cukup? Ya lakukan saja apa yang selama ini sedang dilakukan untuk hidup dengan mengurangi konsumsi supaya bisa mengumpulkan aset lebih banyak. Kalau memang punya cita-cita, sudah selayaknya menyisihkan waktu dan tenaga untuk itu, kan?

Atau barangkali dia mulai dengan mimpi yang terlalu besar. Gimana kalau berpikir dengan skala yang lebih terjangkau? Ini kan baru mulai, masih coba-coba. Ya jangan mengambil risiko terlalu besar, nanti ga mampu menghadapi kalau terjadi kegagalan.

Itu jalan pikiran saya tentang pengembangan usaha mikro. Tentu saja saya akan sangat senang kalau ada yang berkenan memperkaya cara pikir saya yang masih sangat sederhana ini.

Artikel Terbaru di Blog Ini