11 Mei 2009

Keahlian Langka – Sebuah Renungan di Pagi Hari

Oleh Witarto Adi

Pagi ini sangat spesial untuk saya. Ada yang menyentuh hati saya. Bukannya saya melihat Mbak Rani Juliani satu kendaraan umum dengan saya. Nggak mungkin-laaaah...

Namun ada seseorang yang istimewa, yang memboncengkan saya untuk mencapai kampus tempat saya mengajar, di tepian kota Bandung.

Seperti biasa, setiap saya datang ke kampus di tepian kota itu, pada segmen terakhir perjalanan—yang sebelumnya menggunakan kendaraan umum—saya datang ke pangkalan ojek. Ini untuk mempercepat perjalanan supaya saya tidak terlambat, setelah banyak waktu terbuang di kendaraan umum yang rata-rata suka nge-tem.

Seperti tukang-tukang ojek lainnya, orang istimewa ini menyalami saya. Dan saya biasanya cukup arogan dan sombong untuk tidak usah menyebut ke mana tujuan saya. Tukang-tukang ojek di situ sudah tahu…

Namun yang mengantar saya pagi ini cukup menarik. Ketika ngobrol dalam perjalanan, tiba-tiba beliau berkomentar tentang ulah anak-anak muda yang suka ngebut, yang berpapasan dengan kami. Saya masih belum ngeh. Tiba-tiba beliau berkata, bahwa beliau melarang mahasiswanya untuk ikut demonstrasi protes yang tidak puguh…

Loh… fokus saya langsung tuning in.

Pelan-pelan saya tanya dan beliau menyebut namanya P Wastra. Ternyata beliau adalah pensiunan instruktur/dosen politeknik Mandiri (Polman), Kanayakan, Bandung, karena memang sudah melewati batas usia 56. Beliau sekarang masih sering diminta membantu menjadi instruktur di Balai Latihan Kerja yang terletak di Jl. Gatot Subroto, dekat BSM (Bandung Super Mall).

Ehmmm

Dan saat bercerita, beliau menjadi tukang ojek saya…

Lalu saya mulai menerawang, membangun visi masa depan. Seperti itukah nasib saya kelak, ketika saya pensiun jadi guru?

Jangan salah mengerti, bukan tukang ojeknya yang saya permasalahkan. Saya sangat menyayangkan kompetensinya di bidang pemanfaatan mesin perkakas. Itu sebuah keahlian yang langka.

Padahal, keahliannya itu bisa digunakan untuk membangun jati diri bangsa. Kita tentu ikut bangga dengan adanya turbin tegak dari Cihanjuang, sebuah produk yang dihasilkan oleh lulusan Polman.

07 Mei 2009

Golf di Indonesia: Blood, Sweat and Tears

Oleh Amrie Noor

Dunia golf di Indonesia sedang gundah gulana. Dari segi prestasi, pegolf profesional kita makin tertinggal dari, bukan hanya Korea Selatan dan Jepang, tapi juga India dan Thailand. Tongchai baru saja menjuarai Ballantine Championship mengalahkan pemain-pemain undangan seperti Ernie Els (juara US Open) dan Ben Crenshaw (juara Masters).

Sementara dalam dunia pergolfan amatir dan para 'weekend golfers' yang menjadi mayoritas penggemar olahraga ini, hari-hari ini suhu lingkungan di rumah tangga dan kantor terasa sangat gerah, karena kasus yang menimpa Antasari Azhar, "the anti corruption czar".

Belum jelas duduk perkaranya, seluruh kanal media—cetak dan terutama elektronik—seolah berlomba membentuk opini masyarakat bahwa AA bersalah, dengan dugaan merencanakan pembunuhan pesaingnya dalam cinta segitiga dengan seorang kedi. Ya....ampunnnn....

Salah satu stasiun TV bahkan mengundang narasumber beberapa kedi (cilakanya cakep-cakep pula) untuk diwawancara. Opini yang berhasil dibentuk dan merasuk menjadi persepsi masyarakat adalah: bapak-bapak yang main golf itu semuanya ganjen dan pasti cari-cari peluang untuk berkencan dengan kedinya.

Beberapa teman melaporkan kesungkanan dia main golf minggu ini, karena selalu disindir istri dan partnernya di kantor. Dalam milis PPG asuhan Babe Ray Hindarto, topik ini mendapat tanggapan seru dari members. Untung istri saya tak terpengaruh berita-berita ini karena sering menjemput di Jagorawi dan bertemu dengan para kedi yang cowok serta rada dekil semua (maklum habis menggotong golf bag seberat alaihim dan jalan kaki pula).

Tetapi, sesungguhnya kejadian ini semestinya kita gunakan untuk introspeksi diri. Seorang member menulis bahwa padang-padang golf yang menyediakan kedi perempuan nan rupawan seperti Bogor Raya, PSP dan Royale Jakarta memang selalu ramai dan jadi tempat tujuan utama untuk 'weekdays golfing'.

Padang golf seperti Jagorawi hanya disukai oleh para pegolf yang suka tantangan dan prestasi. Terus terang saya mengalami kesulitan kalau mengajak teman atau klien untuk main di Jagorawi. Alasannya: susah, puanass… dan yang paling jujur bilang begini: "Kalo kalah, manyun, Rie. Gak ada yang dielus-elus...."

Salah satu kerugian bagi dunia golf dengan digunakannya kedi perempuan adalah melorotnya suplai pemain golf andal yang dulu banyak berasal dari para kedi berbakat. Sebetulnya kalau para kedi perempuan ini ingin dan punya minat untuk belajar, kesempatan bersaing lebih terbuka bagi mereka, karena segi fisik dan postur tubuh bukan faktor utama bagi pegolf perempuan untuk berjaya. Lihat saja Lorena Ochoa dan belasan pegolf pro Korea Selatan, kan?

Sayangnya, entah memang karena hasil 'training' atau sudah bakat alam, mereka lebih banyak fokus pada dandanan, cat rambut serta bergenit-genit latah (tidak semua lho, saya kenal seorang caddy yang pintar dan berkeinginan besar untuk maju).

Kata orang bijak: "It takes two to tango." Gak mungkin mereka sibuk bergenit ria kalau tidak ada sambutan mesra dari kita-kita, ya nggak seh?

Jadi, bagi yang terpaksa 'dikarantina' sama istri minggu-minggu ini, sabar saja. Kasus ini sedang jadi primadona mengalahkan berita koalisi capres/cawapres dan kekisruhan DPT.

Jangan-jangan memang 'by design' neh, agar masyarakat gak berisik lagi protes soal Pemilu? Wallahualam......

06 Mei 2009

Imagination vs Knowledge

Oleh Donaldy Sianipar

Albert Einstein: "Imagination is more important than knowledge – Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan."

Lihat dulu siapa atau orang-orang seperti apa yang jadi audience-nya waktu Einstein ngomong begitu. Kemungkinan besar dia ngomong gitu kepada orang-orang yang SUDAH punya banyak pengetahuan. Artinya, tidak cukup kalau HANYA punya pengetahuan, tapi harus punya imajinasi JUGA yang lebih penting (SETELAH punya pengetahuan).

Kalau punya imajinasi TANPA punya pengetahuan, ya bisa juga jadi kreatif tapi ngawur dan tak berguna. Makanya ada Jurusan Seni Rupa di ITB, supaya dasar pengetahuannya diperkuat dulu agar imajinasinya dapat berkembang dengan benar.

"Gundukan pasir tidak akan dapat menjulang tinggi tanpa memperlebar dasarnya." ~ Donaldy Sianipar.

Secara matematis, gundukan pasir yang berbentuk kerucut itu tidak dapat ditambah tingginya terus-menerus tanpa menambah juga diameter lingkaran dasarnya. Kalau imajinasi dianalogikan dengan tinggi kerucut, maka pengetahuan dianalogikan dengan luas penampang dasar kerucut itu.

Itu mungkin mirip dengan perdebatan TENTANG orang pintar dan orang kreatif. Orang-orang pintar yang tidak kreatif paling-paling bisanya cuma jadi pegawai birokrasi yang SOP (Standard Operating Procedure)-nya sudah jelas. SOP itu tentunya harus disusun dengan baik oleh orang-orang yang pintar DAN kreatif.

Sebaliknya orang-orang kreatif yang tidak pintar ya paling-paling cuma bisa jadi pengamen di bus kota. Sedangkan para bintang film terkenal yang bayarannya tinggi itu umumnya adalah artis-artis yang kreatif DAN pintar. Dalam lakon film, mereka bisa saja berperan sebagai orang bodoh dan memang kelihatan bodoh, tapi sebenarnya mereka itu pintar.

Kembali ke imajinasi, ada peribahasa lain begini: "Success is 1% imagination and 99% perspiration – Sukses adalah 1% imajinasi dan 99% keringat."

Artikel Terkait:
Gundukan Pasir Tidak Akan Dapat Menjulang Tinggi Tanpa Memperlebar Dasarnya

04 Mei 2009

Gundukan Pasir Tidak Akan Dapat Menjulang Tinggi Tanpa Memperlebar Dasarnya

Oleh Donaldy Sianipar

Peribahasa pada judul di atas memang saya ciptakan sendiri untuk menjawab pernyataan-pernyataan dari banyak orang yang menganggap bahwa "imajinasi lebih penting daripada pengetahuan" (lihat gambar di samping yang dibuat oleh rekan Yayak Yatmaka), "kreatif lebih penting daripada pintar", "praktek lebih penting daripada teori", "kerohanian praktis lebih penting daripada teologi teoretis", "jangan banyak teori aja, yang penting prakteknya!", dan lain-lain yang mirip seperti itu atau yang terkesan seperti melecehkan sesuatu hal penting sambil mengagung-agungkan hal penting lainnya, padahal sebenarnya sama-sama penting.

Well, dalam hal ini saya memang memberanikan diri untuk adu argumentasi dengan Albert Einstein kalau beliau masih hidup.

Mohon jangan salah dimengerti, karena saya juga TIDAK bermaksud TERLALU menekankan yang sebaliknya bahwa "pengetahuan lebih penting daripada imajinasi", "pintar lebih penting daripada kreatif", "teori lebih penting daripada praktek", "teologi teoretis lebih penting daripada kerohanian praktis", "jangan banyak praktek aja, yang penting teorinya!", dan sebagainya.

Yang ingin saya sampaikan adalah bahwa dalam banyak kasus perlu ada KESEIMBANGAN yang optimal (tidak mesti maksimal, tidak mesti minimal, melainkan moderately optimal) antara dua titik ekstrem pada suatu spektrum yang mempertentangkan dua kualitas yang sama-sama pentingnya.

Gundukan pasir yang terlalu lebar dasarnya dibandingkan tingginya, bukanlah gundukan pasir lagi namanya, melainkan hamparan pasir.

Mohon maaf kalau terasa "sok menggurui" atau "sok filosofis". Mungkin pembahasan di atas lebih tepat kalau dikategorikan sebagai "Applied Philosophy" atau "Practical Theory".

"Teori Praktis" tentang keseimbangan itu saya simpulkan dalam peribahasa di bawah ini:

"Gundukan pasir tidak akan dapat menjulang tinggi tanpa memperlebar dasarnya."

(Saya sedang duduk di atas gundukan pasir. Sekali lagi, terima kasih kepada rekan Yayak Yatmaka yang telah membuat karya grafis yang bagus ini.)

Artikel Terbaru di Blog Ini