09 Agustus 2007

Anggaran Pendidikan Anak

Oleh Donaldy Sianipar

Saya ingin sedikit berbagi pengalaman setelah membaca berita di milis itb77 bahwa putri salah seorang teman kita berhasil diterima di fakultas kedokteran.

Dulu bapak saya ingin agar salah seorang dari keempat anaknya ada yang jadi dokter. Ternyata, satu pun ngga ada yang mau (atau ngga bisa kali? [G]).

Harapannya kemudian adalah salah satu mantunyalah yang dokter. Ternyata hasilnya nihil juga. Sekarang, cucu-cucunya satu per satu sudah mulai masuk kuliah. Sejauh ini belum ada satu pun yang masuk kedokteran.

Lebih sedih lagi, empat anak saya yang sudah masuk kuliah semua, ngga ada yang mau masuk ITB. "Ntar miskin seperti Papa," katanya…

Wah, gawat ngga tuh? Mungkin karena mereka membandingkan dengan orangtua teman-teman mereka di Sekolah Pelita Harapan, ya? SPH ini kan isinya anak-anak konglomerat dan menteri/gubernur.

Anak kedua yang lulusan Auckland International College sebenarnya agak mau juga masuk ITB. Tapi ibunya yang nanya, "Udah SMA di luar negeri, ngapain balik lagi kuliah di dalam negeri?" Wah, repot deh jadi anggota ISTI (Ikatan Suami Takut Istri). [G]

Bagusnya, dia dapat beasiswa di Amerika. Jadi, konsisten dengan parental guideline (pedoman orangtua) yang sudah saya bikin sendiri, sehingga kami support (dukung) saja. Memang sejak mereka semua masih SD, saya sudah bilang bahwa mereka boleh cari sekolah di mana saja asal dapat beasiswa.

Tapi soal support (dukungan) ini ternyata sangat berat juga. Soalnya beasiswa 100% pun sering kali tidak termasuk uang asrama dan makan.

Yang SMP di Singapura sih sudah termasuk asrama dan makan, bahkan tiket pp juga. Tapi yang SMA di New Zealand, waduh, uang asramanya minta ampun. Ini jadi kebalikannya TKI. TKI itu kan earn $ spend Rp, sehingga pada bisa punya rumah mewah di kampung.

Nah kita, earn Rp spend $, bayangkan saja pontang-pantingnya seperti apa. Dari total income of both spouses (penghasilan suami istri), bisa 75 % untuk biaya pendidikan anak-anak selama hampir 10 tahun terakhir ini.

Padahal saya baca di Kompas 13 Juli 2007 halaman 14, kebanyakan orang Indonesia cuma menganggarkan 4,27% untuk pendidikan anak. Perhitungannya seperti ini: 30% untuk cicilan rumah (yang sudah lunas, ingin ganti rumah), 30% lagi untuk cicilan mobil (yang sudah lunas, ingin ganti mobil). Sisa 40% buat makan dan biaya lain-lain. Berapa buat pendidikan anak?

Waktu anak pertama saya dapat beasiswa 100% di SPH okelah, cuma antar jemputnya saja dari Bintaro ke Karawaci yang Rp 5 juta setahun (cuma boleh pakai antar jemput yang dikoordinir sekolah).

Anak kedua juga dapat beasiswa 100% di AIC/NZ, tapi uang asrama bayar sendiri.

Anak ketiga dan keempat dapat beasiswa cuma 50% di SPH (agak malas belajar sih, ngga seperti kakaknya). Ya MBA-lah (Makin Berat Aja).

Apalagi sekarang, semua sudah pada kuliah: di Singapura, Amerika, China, dan Korea. Anggaran pendidikan pun sudah hampir mencapai 90%.

Amandemen UUD45 yang mewajibkan 20% APBN untuk pendidikan saja tidak bisa terlaksana. Pantas tetap kalah bersaing dengan negara-negara lain.

Saya pikir, itulah salah satu balancing act (tindakan penyeimbangan) yang perlu kita terapkan. Kalau anggaran pendidikan sudah 20% dari APBN, maka normalnya anggaran tiap keluarga juga 20% untuk pendidikan anak-anak.

Tapi karena anggaran pendidikan masih di bawah 10% APBN, maka "terpaksa" anggaran tiap keluarga harus di atas 40% untuk pendidikan anak-anak.

[You may disagree, just speak up your mind here.]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Terbaru di Blog Ini