10 Agustus 2007

ITB Kejangkitan Penyakit Krisis Kepercayaan?

Oleh ITB77

Ipung Purwomarwanto:

Mungkin ada yang bisa bantu menjelaskan, kenapa ITB masuk ke wilayah private?

Ceritanya begini, anak saya diterima di ITB (alhamdulillah). Dengan sukacita mulailah dia mendaftar (kemarin ambil formulir isian). Eh, sore-sore telepon, minta difaks bukti pembayaran: rekening listrik, rekening PDAM, rekening telepon, bukti bayar PBB. Opo tumon???

Apakah ITB sudah "kejangkitan" penyakit "krisis kepercayaan" sehingga yang menjadi private domain (wilayah pribadi) pun diubek-ubek untuk sekadar mengetahui kondisi ekonomi orangtua mahasiswa?

Tolong yang bertanggung jawab di ITB bisa menjelaskan! Sedih deh...

-----

Arief Mustafa:

Saya juga pernah mengalami hal yang sama ketika anak saya masuk ITB tahun 2004, tapi saya menyadari bahwa hal itu nantinya diperlukan sebagai referensi ketika suatu saat anak kita memerlukan beasiswa, atau pemilihan besarnya sumbangan (karena besarnya sumbangan bisa kita pilih mulai dari Rp 0, Rp 250.000, atau kelipatan Rp 500.000) saat baru masuk, demikian juga tiap semesternya.

Angka-angka tersebut mungkin tidak tepat, hanya sebagai gambaran saja. Tidak sepantasnyalah jika pemakaian listrik mencapai Rp 250.000, telepon Rp 750.000, anak di koskan di Dago dengan biaya tidak kurang dari Rp 500.000 per bulan, tapi kesediaan memberikan sumbangannya memilih Rp 0, sementara di sisi lain kita menyadari bahwa biaya pendidikan itu tidak murah.

Sebaliknya, jika ada mahasiswa dari pedesaan dengan kondisi yang tidak mungkin memberi sumbangan, tidak mustahil biaya spp dan biaya hidupnya pun bisa dibantu. Apalagi ada Yayasan Bhakti Ganesha!

Saya kira bukannya ada pergeseran nilai sejak 1977 atau ada krisis kepercayaan. Masalahnya tetap sama, masih ada orang yang suka curang!

Pada masa kita kuliah dulu, ada (saya katakan ada tapi tidak semua) yang mencari beasiswa untuk tambahan jajan (nraktir teman Unpad / Unisba / ABA, dan sebagainya).

Di masa kini juga ada yang menyumbang Rp. 250.000 per semester (kurang dari Rp. 50.000 per bulan) tapi biaya pulsa hp-nya tidak kurang dari Rp. 100.000 per bulan. Belum lagi biaya kos, makan, jajan, bahkan parkir dan bensinnya pun cukup besar pula.

Mohon maaf, kalau saya menyampaikan dari sudut pandang lain, sekalipun saya bukan yang bertanggung jawab di ITB.

1 komentar:

  1. Mudah2an ini tidak mencerminkan bahwa manusia Indonesia adalah "pembohong".

    Saya khawatir, dengan adanya isian yang mengobok-obok private domain ini bisa menimbulkan kebohongan atau kesimpulan yang salah

    BalasHapus

Artikel Terbaru di Blog Ini