12 Juli 2007

Perbankan untuk Orang Kecil

Oleh Delima Kiswanti

Menanggapi pemikiran seorang teman (ti-itb77) yang sangat ingin membantu banyak orang dengan bersama-sama mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), terus terang saya agak gamang untuk membantu orang membuka microfinance institution (MFI). Apalagi membuka sebuah MFI milik sendiri dengan tujuan "membantu orang miskin".

Lain halnya kalau kita memang mau membuka usaha dengan menjalankan sebuah bank, semangatnya lain dan potensi di bidang ini memang ada. Di TI 77 expertnya buanyaak banget. Sambil punya bank bisa membantu beberapa klien pengusaha kecil mengembangkan potensinya.

Kalau semangatnya mau mengembangkan pengusaha mikro, berdasarkan pengalaman sendiri, saya menarik kesimpulan bahwa penyediaan layanan kredit bukan prioritas utama.

Saya sudah melihat terlalu banyak penerima kredit dari MFI yang jadinya bukan semakin makmur, malah usaha gagal sambil terlilit macam-macam utang. Menolong orang "miskin" dengan memberi kredit seringkali dimulai dengan asumsi yang menurut saya cenderung menyesatkan: bahwa mereka kekurangan dana dan tidak terpenuhi haknya untuk memperoleh kredit murah. Percaya atau tidak, dalam banyak hal pendekatan ini malah membuat mereka tambah miskin.

Kita semua sepakat bahwa pengusaha kecil tidak dapat berkembang karena kekurangan modal. Persoalannya, apakah cara mengatasinya adalah dengan memberi kredit? Pengamatan saya menunjukkan bahwa usaha kecil yang baik justru jarang membutuhkan suntikan dana dari luar. Sebelum mereka butuh pun, tawaran dari berbagai bank, BPR, koperasi dan perorangan datang bertubi-tubi.

Usaha yang sudah sehat, dengan sendirinya akan terhindar dari masalah likuiditas, karena ketika usaha itu membutuhkan kredit, akan banyak lembaga formal maupun tidak yang akan dengan senang hati memberi pinjaman. Sebaliknya, usaha yang tidak mampu memperoleh kredit sering kali mempunyai kelemahan yang tidak akan sembuh, walaupun ada dermawan yang bersedia memberi pinjaman.

Beberapa kelemahan yang sering terjadi antara lain: ketidakmampuan mengelola dana, tercampurnya uang usaha dan uang kebutuhan rumah tangga, side streaming, investasi pada aset yang tidak produktif atau tidak ada hubungannya dengan pengembangan usaha, ketidakmampuan bersaing atau memasarkan produk sehingga investasi nyangkut di inventory, ketidakmampuan mengelola piutang, menumpuknya piutang tak tertagih, ketidakmampuan menghitung biaya produksi sehingga keuntungan usaha terlalu tipis, ketidakmampuan mengukur kecepatan ekspansi yang layak, ingin berkembang terlalu cepat.

Intinya, menurut pendapat saya, kalau mau membantu secara berkesinambungan, kita perlu membantu pengusaha mikro mengatasi ketidakmampuan mereka dalam hal manajemen, yang menjadi penyebab utama terjadinya kesulitan likuiditas.

Tanpa meningkatkan kemampuan mengelola usaha, kredit yang dikucurkan tidak akan memperbaiki keadaan, malah akan memperbesar skala persoalan yang ada. (Dibutuhkan ahli marketing strategy untuk membuat kegiatan ini layak jual. Saya melihat potensinya ada. Pengusaha mikro mau membayar untuk jasa ini, tapi saya belum pernah secara serius memikirkan kemasannya.)

Kalau usaha sudah sehat, biarlah lembaga keuangan yang sudah ada dimana-mana memberi pinjaman kepada mereka. Toh dengan persaingan yang ketat di lingkungan perbankan (termasuk BPR & koperasi), kreditur tidak bisa mengenakan suku bunga secara sewenang-wenang.

Sekalian saya menjawab satu pertanyaan dari seorang rekan kita yang belum selesai kita bahas waktu di Semarang: kenapa bank tidak mau memberi pinjaman kepada usaha baru? Ide ini seringkali merupakan pencetus didirikannya MFI oleh berbagai NGO (lembaga swadaya masyarakat) di seluruh dunia.

Tahu kan bahwa 9 dari 10 usaha baru akan gagal? Atau mulai dengan gagal dulu. Yang berhasil adalah yang pemiliknya selalu bangun lagi setelah jatuh, sehingga orang luar mungkin tidak tahu bahwa dia sempat babak belur, jatuh bangun sepuluh kali sebelum bisa berdiri. Artinya, risiko menempatkan dana pada usaha yang baru akan dimulai itu sangat tinggi. Investor yang mau menempatkan dana pada risiko yang tinggi ini menuntut return yang sangat tinggi juga. Itu pun, pemilik dana perlu punya waktu dan kemampuan untuk terus menerus membangunkan si pengusaha baru setiap kali dia jatuh. Kalau tidak, usahanya akan gagal betulan dan uangnya tidak kembali.

Bank tidak mungkin melakukan hal ini. Makanya kemudian muncul venture capitalist, yang secara sadar mengambil peran dan risiko ini.

Dulu saya berharap sarana Jabar Ventura dan ventura-ventura lainnya akan dapat mengambil peran ini. Eh, ternyata mereka menjadi kreditur seperti bank biasa, dengan sedikit pendampingan teknis (ini yang saya tahu dari pengamatan di lapangan).

Lalu untuk calon pengusaha Indonesia yang tidak punya uang, bagaimana mereka bisa punya usaha? Kenapa tidak ada lembaga dana yang mau membantu mereka? Bank tidak mau, venture capital tidak ada. Ya, untuk Indonesia memang harus pakai dana sendiri. Kedengarannya memang tidak berperikemanusiaan. Tapi coba diamati lebih lanjut, si calon pengusaha yang tak punya modal dan pingin pinjaman bank, apa betul tidak punya aset sama sekali yang bisa dikorbankan sementara untuk mulai usaha?

Kalau tidak punya sama sekali, artinya dia belum punya pengalaman mengelola aset sejumlah yang dia inginkan. Artinya kemampuannya untuk menjalankan usaha perlu diragukan. Kalau punya, ya dilikuidasi dulu aja. Kalau si calon pengusaha sendiri tidak berani mempertaruhkan asetnya untuk memulai usaha, apakah layak dia menuntut bank atau investor lain menempatkan dananya pada usaha baru yang belum ketahuan masa depannya itu?

Kalau asetnya ada tapi belum cukup? Ya lakukan saja apa yang selama ini sedang dilakukan untuk hidup dengan mengurangi konsumsi supaya bisa mengumpulkan aset lebih banyak. Kalau memang punya cita-cita, sudah selayaknya menyisihkan waktu dan tenaga untuk itu, kan?

Atau barangkali dia mulai dengan mimpi yang terlalu besar. Gimana kalau berpikir dengan skala yang lebih terjangkau? Ini kan baru mulai, masih coba-coba. Ya jangan mengambil risiko terlalu besar, nanti ga mampu menghadapi kalau terjadi kegagalan.

Itu jalan pikiran saya tentang pengembangan usaha mikro. Tentu saja saya akan sangat senang kalau ada yang berkenan memperkaya cara pikir saya yang masih sangat sederhana ini.

8 komentar:

  1. Saya suka topik tulisan tersebut. Ada keberpihakan kepada kaum kecil, ada gambaran bahwa untuk berusaha itu harus siap menghadapi jatuh dan bangun.

    salam,

    witarto

    BalasHapus
    Balasan

    1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

      Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

      Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

      Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

      Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

      Hapus
  2. Ada 2 jalur penanganan,
    1. Investasi
    2. Hibah (Sedekah- Wakaf,
    Wakaf itu dari akar kata wa qo fa, artinya stop, berhenti)
    Kalau kita kelebihan dana ya, sedekahkan, kalau kita mau mutarin dana ya investkan.
    Jadi kedua jalur tersebut kalau di Agama dikenal sebagai pengelolaan syariah.
    Sodaqoh, Zakat, Hibah, Wakaf adalah jalur dana yang terkumpul untuk penanggulangan resiko, tapi tetap dalam konsep amanah, jangan main tipu-tipuan, harus terbuka, jadi harus kooperasi atau jamaah dalam bahasa agamanya.
    Sedang jalur yang satunya lagi yang tijarah dalam arti luas.
    Nah dari sisi lainnya harus ada pembinaan atau dakwah.
    Karena kalau hanya ngandalin Zakat, Sodaqoh, wakaf ini akan jadi haram tidak ada usahanya.
    Usaha melulu hasilnya tidak disodaqohi juga haram karena melanggar kewajiban berzakat.
    Sebenarnya apa yang disampaikan Rekan Kis, ini sudah hukum alam, atau bahasa agamanya Sunatullah.
    Hanya kadang kita pemahamannya berbeda karena keterbukaan jendela pikiran kita berbeda-beda. Atau dalam bahasa Agamanya Hidayahnya beda.
    Semoga sedikit komentar ini dapat membuka dialog untuk implemntasi dengan pengalaman dan wawasan makin luas.
    Salam
    Anis R

    BalasHapus
  3. Mengelola sejumlah asset untuk usaha, hal menarik. Tidak semua orang mempunyai pengalaman. Hanya sebagian kecil dari kita. Memang R Kiyosaki bukunya laris, tentang cara pandang Cash Flow Quadrant. Namun dalam praktek, tidak banyak yang berani melakukannya. Atau kalau ada, babak belur. Setuju dengan pernyataan 9 dari 10 usaha baru bangkrut.

    Jadi, di mana titik problemnya ?

    Pengetahuan untuk melakukan usaha baru, serta kemampuan mengelola dana, yang tahan goda menghadapi godaan "iklan" konsumtif. Itu menurut saya yang paling menonjol.

    Pengetahuan. Transfernya memerlukan pendidikan. Sudah dipikirkan diklat atau pelatihan untuk usaha kecil, yang lebih banyak menawarkan best practice mencari pasar, mencari peluang usaha, menganggarkan upayanya (kuantifikasi), serta ketahanan mental menghadapi preman yang cenderung merusak anggaran ?

    Di sisi lain, biaya hidup meningkat, daya beli saat ini rendah. Ini agak menyusahkan mencari pegawai yang "murah". Mungkin lebih cocok upaya mikrofinance dilakukan di daerah yang transaksi keuangannya dalam orde yang masih kecil. Itu hasilnya akan lebih terasa.

    salam,

    witarto

    BalasHapus
  4. Sebagai dasar pemikiran pertama, terus terang saya sangat setuju dengan konsep-nya Bung Donald, bahwa keberhasilan itb-77 lebih baik dititik-beratkan kepada soliditas angkatan. Lebih spesifik-nya lagi, yang sukses pada level sosio-ekonominya, mau membantu kawan-kawan lain yang kurang beruntung.

    Dasar pemikiran yang kedua, dengan usia kita yang mulai senja dan menghadapi masa tua (pensiun), dimana mayoritas kita profesi-nya sebagai pekerja, income merupakan persoalan yang harus mulai kita fikirkan. Bagaimanapun, kebutuhan takkan pernah mengenal usia pensiun. Apalagi dalam Islam, kewajiban mencari rizkiNya takkan pernah gugur apabila secara fisik dan mental masih mampu untuk melakukannya.

    Berangkat dari dua pemikiran diatas, seyogyanya kita mempertimbangkan dan merumuskan persoalan di bawah ini :

    1) Type Usaha :
    Banyak kawan-kawan kita yang memiliki usaha atau penentu puncak sebuah usaha. Kita minta advice-nya dan kita bahas setiap jengkal plus-minusnya. Yang perlu diperhatikan, karena banyak kawan-kawan kita yang ingin ibadah muamalah-nya dijalankan secara kaafah, maka business-culturalnya mesti dipertimbangkan.

    2) Permodalan :
    Rumusannya diatur sedemikian rupa sehingga setiap alumni akan merasa "memiliki" (seperti PT GE ?)

    3) Penghasilan :
    Tentunya pembagian hasil, akan sesuai dengan jumlah investasi yang disetorkan oleh setiap alumni (mudharobah)

    4) Zakat penghasilan :
    Bagi yang menginginkan zakat penghasilannya dikelola sebagai penyertaan modal, saya fikir bukan merupakan halangan, bahkan akan memaksimalkan fungsi zakat (Betul Mas Anis ?).

    5) Pinjaman :
    Boleh jadi, diantara kita ada yang memiliki usaha kecil-kecilan seperti warung, usaha peternakan kambing, kolam ikan, dll. Semacam dana kelolaan yang bisa diputar, tidak salah apabila bisa di-fasilitasi.

    6) Proposal usaha :
    Tidak jarang, hasil yang besar datang dari ide yang sederhana. Alangkah bersyukurnya kita, Kang Paulus telah menyediakan media ini. Karena itu, mari kita maksimalkan penggunaannya demi kesuksesan kita, keluarga kita, dan itb-77 dengan rasa kebersamaannya.

    Nuhun,
    Nanang Kuswara

    BalasHapus
  5. Mas Witarto, saya pikir anda rajin menkliping artikel, barangkali contoh kesuksesan seorang Doktor di Bangladesh? yang dapat Nobel??
    tentang kesuksesannya dia mengembangkan ekonomi kerakyatan di negaranya bisa diangkat dan menyemangati kita atau siapa yang punya koneksi ke Beliau (mbak Dewi di Philipine) Di bulan Agustus 24 bisa menggandeng datang ke Ganesha??
    Salam
    Anis R

    BalasHapus
  6. Mas Anis, saya pernah pegang koordinasi tiga kabupaten, Tasik-Garut-Sumedang, untuk listrik pedesaan. Di situ saya diminta mengenalkan teknologi listrik untuk diterapkan pada usaha-usaha kecil pedesaan.

    Contohnya, bikin sabun detergent, kalau skala kecil, cukup diaduk dengan tangan. Tapi kalau bahannya satu drum, nah, di situ motor listrik berperan.

    Ketika bikin proposalnya untuk pendanaan World Bank, (dalam proyek rural electrification di atas), saya terpaksa belajar, apa itu small business, apa itu teknologi tepat guna untuk pedesaan.

    Kemudian, saya pernah diminta menyusun proposal untuk Micro Finance - Revolving Fund. Namun saya tidak menjalankannya, karena saya sedang mengkoordinasi di tiga kabupaten di atas. Realisasi proyek itu dipegang seorang teman, di beberapa daerah di Jawa Tengah. Setahu saya, itu realisasi pertama untuk Micro Finance dari Bappenas, untuk Indonesia.

    Saya pernah diminta mengajar satu dua sesi untuk JPS (sekarang mungkin P2KP). Materi saya kembangkan dari konsep relasi cost-benefit secara sederhana, sebagai inti usaha (business).

    Kemudian, sejak 2005 saya diajak teman untuk ikut survey sosial. Di situ saya melihat, bahwa orang-orang kecil, terutama di daerah terpencil, perlu diBerdayakan, bukannya diPerdayakan.

    Saya menemukan, bahwa mayoritas rakyat Indonesia itu KENYATAANNYA banyak yang belum pernah main valas, transaksi sebulan paling 100.000 rupiah (Nabire, Paniai). Mereka banyak yang tidak bisa membedakan setumpuk uang 500.000 perak dengan sejuta.

    Itu adalah jalan hidup saya, yang membuat saya merasa dekat dengan mereka. Serba sedikit, jika ada peluang yang benar, saya mencoba membantu mereka, walau mungkin cuma melalui pemikiran.

    salam,

    witarto

    BalasHapus
  7. Mas Nanang, Mas Witarto, Mas Paulus dan mbak Kis (aku kebetulan waktu sekelas panggilnya Kis),
    Bukannya kita berlebih, dan bukannya kita mau sok pahlawan, Kadang kita diberi kelebihan dan kekurangan disisilain. Itu pasti pengalaman hidup orang, dan macam-macam. Ada orang dilebihkan dengan kemudahan dapat ilmu. Ada orang dimudahkan diberi jalan ke pintu rejeki. Ada juga ada orang yang dimudahkan nyambungin orang-orang yang mau transaksi. Ada jua orang yang kelihatannya susaa...ahh terus. Tapi ada juga yang pas-pasan.Saya yakin hidup ini untuk berinteraksi supaya bisa tolong-menolong yang lebih memberi ke yang kurang dan seterusnya sehingga sebenarnya dua-duanya beribadah nilainya. Karena itu sebenarnya manusia yang hidup itu tidak ada kata pensiun. Pensiun itu kalau udah mati. Bukan kita ngoyo, tapi sebenarnya kita diberi jalan oleh Yang Maha Pemberi untuk lebih mudah mendapatkan sesuatu dibandingkan yang lain, karena itu terus tetap berusaha itu adalah hidup.
    Saya usulkan sekali-sekali kopi darat dan kita realisasikan pembicaraan kita. Saya ada aset kalau bisa bermanfaat bisa digunakan. Saya ada tempat kalau mau dipakai silahkan. Saya ada keinginan mari bersama-sama kita kembangkan ide-ide tadi.
    Salam
    Anis R

    BalasHapus

Artikel Terbaru di Blog Ini