07 Mei 2009

Golf di Indonesia: Blood, Sweat and Tears

Oleh Amrie Noor

Dunia golf di Indonesia sedang gundah gulana. Dari segi prestasi, pegolf profesional kita makin tertinggal dari, bukan hanya Korea Selatan dan Jepang, tapi juga India dan Thailand. Tongchai baru saja menjuarai Ballantine Championship mengalahkan pemain-pemain undangan seperti Ernie Els (juara US Open) dan Ben Crenshaw (juara Masters).

Sementara dalam dunia pergolfan amatir dan para 'weekend golfers' yang menjadi mayoritas penggemar olahraga ini, hari-hari ini suhu lingkungan di rumah tangga dan kantor terasa sangat gerah, karena kasus yang menimpa Antasari Azhar, "the anti corruption czar".

Belum jelas duduk perkaranya, seluruh kanal media—cetak dan terutama elektronik—seolah berlomba membentuk opini masyarakat bahwa AA bersalah, dengan dugaan merencanakan pembunuhan pesaingnya dalam cinta segitiga dengan seorang kedi. Ya....ampunnnn....

Salah satu stasiun TV bahkan mengundang narasumber beberapa kedi (cilakanya cakep-cakep pula) untuk diwawancara. Opini yang berhasil dibentuk dan merasuk menjadi persepsi masyarakat adalah: bapak-bapak yang main golf itu semuanya ganjen dan pasti cari-cari peluang untuk berkencan dengan kedinya.

Beberapa teman melaporkan kesungkanan dia main golf minggu ini, karena selalu disindir istri dan partnernya di kantor. Dalam milis PPG asuhan Babe Ray Hindarto, topik ini mendapat tanggapan seru dari members. Untung istri saya tak terpengaruh berita-berita ini karena sering menjemput di Jagorawi dan bertemu dengan para kedi yang cowok serta rada dekil semua (maklum habis menggotong golf bag seberat alaihim dan jalan kaki pula).

Tetapi, sesungguhnya kejadian ini semestinya kita gunakan untuk introspeksi diri. Seorang member menulis bahwa padang-padang golf yang menyediakan kedi perempuan nan rupawan seperti Bogor Raya, PSP dan Royale Jakarta memang selalu ramai dan jadi tempat tujuan utama untuk 'weekdays golfing'.

Padang golf seperti Jagorawi hanya disukai oleh para pegolf yang suka tantangan dan prestasi. Terus terang saya mengalami kesulitan kalau mengajak teman atau klien untuk main di Jagorawi. Alasannya: susah, puanass… dan yang paling jujur bilang begini: "Kalo kalah, manyun, Rie. Gak ada yang dielus-elus...."

Salah satu kerugian bagi dunia golf dengan digunakannya kedi perempuan adalah melorotnya suplai pemain golf andal yang dulu banyak berasal dari para kedi berbakat. Sebetulnya kalau para kedi perempuan ini ingin dan punya minat untuk belajar, kesempatan bersaing lebih terbuka bagi mereka, karena segi fisik dan postur tubuh bukan faktor utama bagi pegolf perempuan untuk berjaya. Lihat saja Lorena Ochoa dan belasan pegolf pro Korea Selatan, kan?

Sayangnya, entah memang karena hasil 'training' atau sudah bakat alam, mereka lebih banyak fokus pada dandanan, cat rambut serta bergenit-genit latah (tidak semua lho, saya kenal seorang caddy yang pintar dan berkeinginan besar untuk maju).

Kata orang bijak: "It takes two to tango." Gak mungkin mereka sibuk bergenit ria kalau tidak ada sambutan mesra dari kita-kita, ya nggak seh?

Jadi, bagi yang terpaksa 'dikarantina' sama istri minggu-minggu ini, sabar saja. Kasus ini sedang jadi primadona mengalahkan berita koalisi capres/cawapres dan kekisruhan DPT.

Jangan-jangan memang 'by design' neh, agar masyarakat gak berisik lagi protes soal Pemilu? Wallahualam......

1 komentar:

  1. Sekarang ini di dunia sedang dilanda ketakutan disebabkan karena flu babi, tidak terkecuali di Indonesia, masyarakatnya selain ketakutan karena virus H1N1 beberapa di antaranya juga dilanda ketakutan akibat berjangkitnya "flu caddy" yang disebabkan oleh virus R4N1. Hee....Hee....Heee...Heee!

    BalasHapus

Artikel Terbaru di Blog Ini