19 Agustus 2007

Berhenti Merokok

Oleh Maridsyah Haroen

Saya punya pengalaman dan tips bagaimana cara berhenti merokok.

Saya termasuk perokok berat, dan sudah mengenal rokok sejak SMP. Sejak tahun 1997 sudah berusaha beberapa kali untuk berhenti merokok, tetapi tidak pernah berhasil. Paling lama bertahan cuma 2 bulan. Akhirnya pada bulan Mei 1999 saya berhasil menghentikan kebiasaan buruk tersebut.

Kuncinya adalah:

  1. Kalau sudah berhenti, jangan pernah mencobanya lagi walaupun satu isapan.

  2. Tanamkan di dalam hati yang paling dalam bahwa merokok tidak ada manfaatnya sama sekali dan ini adalah perbuatan sia-sia, yang lebih banyak mudaratnya, sedangkan manfaatnya tidak ada sama sekali.

  3. Usaha untuk berhenti merokok adalah murni berperang untuk mengalahkan hawa nafsu sendiri. Prinsipnya kalau tidak bisa mengalahkan diri sendiri, maka jangan pernah bermimpi untuk mengalahkan orang lain.

  4. Intinya adalah kembalikan kepada niat dan keinginan diri masing-masing.

Saya yakin bahwa setiap perokok pasti punya keinginan untuk berhenti, tapi tidak mampu untuk mewujudkannya. Mudah-madahan tips di atas dapat membantu teman-teman yang benar-benar mau berhenti merokok.

Selamat mencoba.

10 Agustus 2007

ITB Kejangkitan Penyakit Krisis Kepercayaan?

Oleh ITB77

Ipung Purwomarwanto:

Mungkin ada yang bisa bantu menjelaskan, kenapa ITB masuk ke wilayah private?

Ceritanya begini, anak saya diterima di ITB (alhamdulillah). Dengan sukacita mulailah dia mendaftar (kemarin ambil formulir isian). Eh, sore-sore telepon, minta difaks bukti pembayaran: rekening listrik, rekening PDAM, rekening telepon, bukti bayar PBB. Opo tumon???

Apakah ITB sudah "kejangkitan" penyakit "krisis kepercayaan" sehingga yang menjadi private domain (wilayah pribadi) pun diubek-ubek untuk sekadar mengetahui kondisi ekonomi orangtua mahasiswa?

Tolong yang bertanggung jawab di ITB bisa menjelaskan! Sedih deh...

-----

Arief Mustafa:

Saya juga pernah mengalami hal yang sama ketika anak saya masuk ITB tahun 2004, tapi saya menyadari bahwa hal itu nantinya diperlukan sebagai referensi ketika suatu saat anak kita memerlukan beasiswa, atau pemilihan besarnya sumbangan (karena besarnya sumbangan bisa kita pilih mulai dari Rp 0, Rp 250.000, atau kelipatan Rp 500.000) saat baru masuk, demikian juga tiap semesternya.

Angka-angka tersebut mungkin tidak tepat, hanya sebagai gambaran saja. Tidak sepantasnyalah jika pemakaian listrik mencapai Rp 250.000, telepon Rp 750.000, anak di koskan di Dago dengan biaya tidak kurang dari Rp 500.000 per bulan, tapi kesediaan memberikan sumbangannya memilih Rp 0, sementara di sisi lain kita menyadari bahwa biaya pendidikan itu tidak murah.

Sebaliknya, jika ada mahasiswa dari pedesaan dengan kondisi yang tidak mungkin memberi sumbangan, tidak mustahil biaya spp dan biaya hidupnya pun bisa dibantu. Apalagi ada Yayasan Bhakti Ganesha!

Saya kira bukannya ada pergeseran nilai sejak 1977 atau ada krisis kepercayaan. Masalahnya tetap sama, masih ada orang yang suka curang!

Pada masa kita kuliah dulu, ada (saya katakan ada tapi tidak semua) yang mencari beasiswa untuk tambahan jajan (nraktir teman Unpad / Unisba / ABA, dan sebagainya).

Di masa kini juga ada yang menyumbang Rp. 250.000 per semester (kurang dari Rp. 50.000 per bulan) tapi biaya pulsa hp-nya tidak kurang dari Rp. 100.000 per bulan. Belum lagi biaya kos, makan, jajan, bahkan parkir dan bensinnya pun cukup besar pula.

Mohon maaf, kalau saya menyampaikan dari sudut pandang lain, sekalipun saya bukan yang bertanggung jawab di ITB.

09 Agustus 2007

Anggaran Pendidikan Anak

Oleh Donaldy Sianipar

Saya ingin sedikit berbagi pengalaman setelah membaca berita di milis itb77 bahwa putri salah seorang teman kita berhasil diterima di fakultas kedokteran.

Dulu bapak saya ingin agar salah seorang dari keempat anaknya ada yang jadi dokter. Ternyata, satu pun ngga ada yang mau (atau ngga bisa kali? [G]).

Harapannya kemudian adalah salah satu mantunyalah yang dokter. Ternyata hasilnya nihil juga. Sekarang, cucu-cucunya satu per satu sudah mulai masuk kuliah. Sejauh ini belum ada satu pun yang masuk kedokteran.

Lebih sedih lagi, empat anak saya yang sudah masuk kuliah semua, ngga ada yang mau masuk ITB. "Ntar miskin seperti Papa," katanya…

Wah, gawat ngga tuh? Mungkin karena mereka membandingkan dengan orangtua teman-teman mereka di Sekolah Pelita Harapan, ya? SPH ini kan isinya anak-anak konglomerat dan menteri/gubernur.

Anak kedua yang lulusan Auckland International College sebenarnya agak mau juga masuk ITB. Tapi ibunya yang nanya, "Udah SMA di luar negeri, ngapain balik lagi kuliah di dalam negeri?" Wah, repot deh jadi anggota ISTI (Ikatan Suami Takut Istri). [G]

Bagusnya, dia dapat beasiswa di Amerika. Jadi, konsisten dengan parental guideline (pedoman orangtua) yang sudah saya bikin sendiri, sehingga kami support (dukung) saja. Memang sejak mereka semua masih SD, saya sudah bilang bahwa mereka boleh cari sekolah di mana saja asal dapat beasiswa.

Tapi soal support (dukungan) ini ternyata sangat berat juga. Soalnya beasiswa 100% pun sering kali tidak termasuk uang asrama dan makan.

Yang SMP di Singapura sih sudah termasuk asrama dan makan, bahkan tiket pp juga. Tapi yang SMA di New Zealand, waduh, uang asramanya minta ampun. Ini jadi kebalikannya TKI. TKI itu kan earn $ spend Rp, sehingga pada bisa punya rumah mewah di kampung.

Nah kita, earn Rp spend $, bayangkan saja pontang-pantingnya seperti apa. Dari total income of both spouses (penghasilan suami istri), bisa 75 % untuk biaya pendidikan anak-anak selama hampir 10 tahun terakhir ini.

Padahal saya baca di Kompas 13 Juli 2007 halaman 14, kebanyakan orang Indonesia cuma menganggarkan 4,27% untuk pendidikan anak. Perhitungannya seperti ini: 30% untuk cicilan rumah (yang sudah lunas, ingin ganti rumah), 30% lagi untuk cicilan mobil (yang sudah lunas, ingin ganti mobil). Sisa 40% buat makan dan biaya lain-lain. Berapa buat pendidikan anak?

Waktu anak pertama saya dapat beasiswa 100% di SPH okelah, cuma antar jemputnya saja dari Bintaro ke Karawaci yang Rp 5 juta setahun (cuma boleh pakai antar jemput yang dikoordinir sekolah).

Anak kedua juga dapat beasiswa 100% di AIC/NZ, tapi uang asrama bayar sendiri.

Anak ketiga dan keempat dapat beasiswa cuma 50% di SPH (agak malas belajar sih, ngga seperti kakaknya). Ya MBA-lah (Makin Berat Aja).

Apalagi sekarang, semua sudah pada kuliah: di Singapura, Amerika, China, dan Korea. Anggaran pendidikan pun sudah hampir mencapai 90%.

Amandemen UUD45 yang mewajibkan 20% APBN untuk pendidikan saja tidak bisa terlaksana. Pantas tetap kalah bersaing dengan negara-negara lain.

Saya pikir, itulah salah satu balancing act (tindakan penyeimbangan) yang perlu kita terapkan. Kalau anggaran pendidikan sudah 20% dari APBN, maka normalnya anggaran tiap keluarga juga 20% untuk pendidikan anak-anak.

Tapi karena anggaran pendidikan masih di bawah 10% APBN, maka "terpaksa" anggaran tiap keluarga harus di atas 40% untuk pendidikan anak-anak.

[You may disagree, just speak up your mind here.]

Artikel Terbaru di Blog Ini